Menentukan Keberpihakan akan Menentukan Ketepatan ke Target

 Kali ini saya akan membahas soal menentukan target dalam sebuah penulisan. Seperti yang saya katakan sebelumnya, ketika tulisan yang dibuat sesuai dengan selera pembaca, maka tulisan tersebut akan disukai oleh mereka.

"Tinggal dikasih ke orang-orang yang suka baca aja, kan? Bukannya gampang?"

Eit, tunggu dulu. Ingat juga kan ketika saya bilang "Meski seleranya sama pun bukan berarti tidak akan terkena kritik"? 

Oke, anggap lah saya membuat sebuah cerita romansa, lalu memberikannya kepada yang suka. Apakah hukum selera sesimpel itu? Tentu saja tidak, ingat, bumbu-bumbu yang kalian masukan akan mempengaruhi hasil karya yang kalian buat.

Salah satu bumbu yang akan sangat mempengaruhi adalah "Keberpihakan". Tidak hanya dalam penulisan sebuah cerita, surat kabar, puisi, pidato dan sebagainya pun ketika isinya memiliki sebuah unsur keberpihakan, reaksi pembaca tentu akan berbeda-beda.

Ketika karya itu berpihak kepada masyarakat ternyata karya itu menjadi sebuah karya agung

 Kutipan tersebut diambil dari "Membaca Sastra, Membaca Dunia" (Azwar, 2016). Dalam bukunya, dikatakan bahwa karya sastra semestinya memiliki visi untuk mencerahkan manusia.

"Tapi kan, saya cuman ingin menulis buat bersenang-senang. Liat aja yang lain, emangnya orang-orang nulis cerita sampai segitunya?"

Tidak ada salahnya apabila menulis hanya untuk bersenang-senang, semuanya selalu kembali ke "Apa tujuan anda melakukan hal ini?". Beberapa orang ada yang menulis untuk mengeluarkan perasaannya, ada juga yang menulis hanya sekedar untuk mengisi waktu luangnya.

Hal yang ingin saya sampaikan di sini melalui kutipan tersebut adalah, ketika kita membuat sebuah cerita, lalu memasukan bumbu-bumbu keberpihakan yang membuka pikiran orang-orang, hal tersebut akan menjadi sebuah daya tarik dari karya yang kalian buat.

Namun, perlu diingatkan kembali, keberpihakan di sini bukan berarti membela sebuah kaum lalu menjelekan kaum yang lainnya, kritik bisa disampaikan lewat cerita atau anekdot, tapi sebuah cerita atau tulisan yang hanya bertujuan untuk menjatuhkan seseorang atau sebuah kelompok adalah hal yang sangat buruk.

Nihwan, dalam bukunya yang berjudul "Saya Menulis Maka Saya Ada" (2016) mengatakan bahwa, menulis buku, mengarang cerpen, drama, atau novel tidak kita maksudkan untuk merendahkan derajat kemanusiaan. Lebih baik tidak menjadi penulis atau mengarang kalau hanya untuk menghina satu sama lain.

Terlihat sangat sepele, tapi apakah kalian menyadari bahwa beberapa cerita pendek atau status media sosial yang berbentuk narasi akhir-akhir ini tidak lain hanya lah untuk menjatuhkan orang lain?

Seperti misalnya ketika salah satu teman kita dijahati atau kelompok kita merasa ditindas, kita langsung lari ke media sosial, membuat sebuah status yang berupa sebuah cerita, menarasikannya dengan segala rupa agar pihak yang kita bela terlihat "baik" sementara pihak lainnya "jahat".

"Mereka kan pantas mendapat kan hukum sosial, emangnya kenapa!?"

Pernah kah kita berpikir, tidak semua masalah harus diselesaikan dengan 'kekerasan'? Memang, beberapa orang tidak bisa diberitahu dengan baik-baik, kadang ada yang memang harus 'dikeraskan'. Meskipun begitu, walau lawan kita salah sekali pun, kita tidak menjadi benar hanya dengan menunjukan bahwa lawan kita salah. Bahkan, beberapa 'mahluk' yang saya temukan justru menutupi kesalahan mereka dengan menunjukan bahwa lawan mereka salah.


Kembali ke pembicaraan sebelumnya, ketika kita membuat sebuah cerita, dan cerita tersebut memiliki unsur keberpihakan, hal tersebut akan mempengaruhi penilaian dalam tulisan kita.

Hal yang perlu diingat lagi, "keberpihakan" di sini bukan berarti selalu mengarah ke sebuah kaum atau golongan, akan tetapi juga bisa kepada mahluk hidup lainnya atau sebuah paham.

Anggap lah kita tertarik kepada sesuatu misalnya sebuah game, stigma masyarakat terhadap gamers hampir saja selalu buruk. Meskipun begitu, kita bisa melawan stigma tersebut dengan cerita yang kita buat, tidak hanya melalui karya tulis ilmiah. Memang, karya tulis ilmiah lebih kuat dampaknya karena bisa dipertanggungjawabkan, tapi bukan berarti sebuah cerita pendek atau novel tidak akan memberikan pengaruh sama sekali.

Poci tidak menyangka kalau eroge yang biasa dimainkannya membuatnya mampu dalam memanajemen pekerjaan, pak Hilman sebagai pemilik kedai kopi sendiri tidak pernah memikirkannya sejauh itu.

"Kamu sakit apa, Poci!? Jangan-jangan ada yang merasuki dirimu!?" Tanya Alice dengan sangat heran seakan-akan dia melihat orang lain.

"Bukannya gitu, kebetulan aja game yang aku mainkan tadi malam mirip dengan situasi sekarang. Huhh.. Walau dalam kenyataan memang lebih komplek-- Awas pecah!" Dengan secepat kilat, Poci menangkap gelas yang tersenggol oleh pelanggan.

"Wuih!! Alice saja tidak bisa melakukan itu, biasanya dia sudah menangis dan merasa bersalah."

"Maafkan diriku karena tidak bisa menangkap gelas!" Pak Hilman tertawa cekikikan setelah melihat reaksi Alice.

"Hahaha.. Gak heran sih.. Kayaknya aku kebanyakan main rhythm game makanya begini."

Contoh di atas merupakan contoh paling simpel dalam keberpihakan terhadap gamers. Tentu saja masih banyak cara penyampaian dan penulisannya, semua itu tergantung penulis dalam menyampaikannya.

Kalau dilihat-lihat, mungkin terlihat biasa dan melebih-lebihkan. Namun, dari hal biasa seperti ini saja, penulis juga menyampaikan bahwa sebuah pengetahuan dan kemampuan pun dapat didapatkan dari bermain sebuah game. Keberpihakan penulis kepada gamers ini lah yang nantinya dapat mempengaruhi penilaian tulisannya. Mungkin orang akan menjadi sedikit lebih terbuka soal game dan gamers itu sendiri, atau mungkin justru menimbulkan kritik dan perdebatan.

Tentu, mungkin akan lebih banyak menuai kritik. Meski begitu, apabila ternyata tulisan yang dibuat justru mempengaruhi pemikiran pembaca, berarti kalian telah berhasil membuat sebuah tulisan yang bagus.


Kembali ke topik utama, meski sasarannya tepat pun terkadang cerita yang kita buat masih saja ada orang yang tidak menyukainya. Hal tersebut salah satunya mungkin dikarenakan unsur keberpihakan.
(Mungkin saja di struktur penulisan, latar, penokohan, dan sebagainya. Bagi pemula ini mudah disadari.)

Akan tetapi, coba cek tulisan lagi atau perhatikan baik-baik kritik yang diterima. Bisa jadi tulisan yang dibuat tidak disukai karena terlalu berpihak.

"Loh, katanya yang baik itu yang berpihak. Tapi kok ini malah dibilang penyebabnya."

Ingat lagi, keberpihakan yang dimaksud ditujukan untuk mencerahkan manusia, dan membuka pemikiran-pemikiran yang sempit, bukan hanya sekedar kita menceritakan perjuangan sebuah kaum dalam kehidupan.

Anggap lah kita menulis sebuah cerita romansa, lalu entah sengaja atau tidak sengaja menunjukan keberpihakan kepada kaum LGBT yang selalu diberikan stigma negatif. Meskipun kita lemparkan cerita kita kepada orang-orang yang suka romansa, atau ke sebuah penerbit yang biasa menerbitkan cerita romansa. Hanya karena keberpihakan tersebut, tulisan kita bisa dianggap jelek padahal kita tidak bermaksud buruk.

Kadang, kita juga harus melihat lagi lingkungan sekitar. Ada kalangan yang terbuka, ada juga kalangan yang pemikirannya sempit. Ada pembaca yang suka cerita rumit, ada juga pembaca yang lebih suka cerita simpel.

Cerita yang terlalu simpel, biasanya lebih mudah untuk diterima. Akan tetapi, dampak yang diberikan tentu tidak begitu besar. Cerita yang lebih kompleks dan memihak biasanya akan lebih sulit untuk diterima, akan tetapi dampak yang diberikan lebih besar.

Memasukan unsur keberpihakan tentu akan menuai resiko yang besar, tapi apabila kita menulis dengan tujuan ingin membuat sebuah karya yang berpengaruh, resiko tersebut harus berani kita ambil. Kritik pasti ada, dan justru sebuah karya 100% tanpa kritik perlu dipertanyakan.

Memang, kita bisa membuat sebuah cerita yang berpihak kepada masyarakat dan di saat yang sama juga mengkritik pemerintah, tapi perlu digarisbawahi pada bagian "Kritik". Pada masa sekarang ini, penghinaan kadang selalu bertameng "Kritik". Kita menjelek-jelekan karya orang lain, menjelek-jelekan kebijakan kemudian bertamengkan "Masa kritik aja gak boleh".

Mungkin saya akan terus mengulanginya berkali-kali, sebuah kritik lebih baik disampaikan dengan baik, atau hanya berupa sindiran-sindiran kecil. Bukan dengan langsung terang-terangan menjelekan atau merendahkan.

Contoh kritik yang simpel seperti apa sih?
"Dari keseluruhan udah bagus, paling bagian ini perlu dibenerin sedikit.";
"Pembawaan oke, apalagi pas si ini nembak ceweknya. Cuman karena hubungannya lempeng aja jadi gak asik.";
"Kayaknya jangan terlalu menyinggung agama atau ras, hal gini sangat sensitif."
"Buku diciptakan supaya dibaca, ini malah dipakai sebagai obat tidur."

Contoh kritik yang tidak baik seperti apa sih? Kalau saya berikan contohnya, bahasan ini bakal semakin keluar jalur. Topiknya keberpihakan, malah bahas cara mengkritik. Kalau mau tau contoh buruknya, kalian sendiri pasti sudah tahu seperti apa.

Berbicara soal kritik, salah satu karya yang saya suka adalah "Wagahai wa Neko de aru"  atau yang juga dikenal dengan "I am a cat" karya Natsume Souseki. Pernah tidak kalian berpikir, bahwa cerita yang terlihat simpel berpengaruh terhadap masyarakat.

"Katanya yang simpel tidak memberikan dampat besar."

Perlu digarisbawahi, "terlihat simpel". Singkatnya, cerita tersebut mengisahkan seekor kucing yang memperhatikan manusia. Lalu apa yang membuat ceritanya sangat menarik? Salah satu hal yang membuat saya sangat suka dengan cerita tersebut adalah bagaimana penyampaian kritik yang disampaikan terhadap kebiasaan manusia.

Kalau ditanya soal keberpihakan, mungkin saya akan bilang karya tersebut memihak kepada masyarakat yang tidak suka dengan prilaku masyarakat pada masanya. Kenapa saya mengatakan hal seperti itu, sebab cerita tersebut bisa dibilang memberikan sindiran terhadap perilaku manusia yang ada-ada saja. Penasaran? Coba cari di internet atau perpustakaan terdekat di daerah kalian.

"Emang penulis gak punya? kalau ada pdf-nya boleh dong dibagikan."

Kebetulan dulu saya menemukan bukunya di perpustakaan sebuah institusi, tapi setelah itu saya tidak menemukannya lagi. Saking polosnya saya sendiri pada waktu itu tidak sadar kalau karya tersebut merupakan karya yang berpengaruh di zamannya.


Sudah sampai di sini dulu deh, isi tulisan ini saja sudah ngawur dari judulnya. Tapi, yang bisa saya katakan adalah ketika tulisan yang kalian buat itu memihak kepada sebuah masyarakat, mereka akan sangat menyukai tulisan kalian.

Hukum selera tidak hanya berputar pada genre atau tema yang kalian tulis, melainkan keseluruhan apa yang kalian tulis, seperti artikel pada blog ini misalnya.

Seperti biasa, bila ada pesan atau kritik yang ingin disampaikan, silahkan tinggalkan di kolom komentar atau kirimkan ke e-mail resmi Baso Tahu. Kritik yang kalian sampaikan berguna bagi kita semua.

Sampai ketemu lagi.
Adieu~




Post a Comment

Lebih baru Lebih lama